DUNIASAJA.COM-KONSELING LINTAS BUDAYA
A.
Konsep
Dasar Konseling Lintas Buday
Pengertian
konseling lintas budaya
Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan
oleh seorang ahli kepada individu yang mengalami sesuatu masalah yang bermuara
pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Istilah ini pertama kali
digunakan oleh Frank Parsons pada tahun 1908 saat ia melakukan konseling
karier.
Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto
(1997) dan Ahmadi (1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu
buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang
berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan
dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat. Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan
mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dalam
pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu:
1. merupakan produk budidaya manusia,
2. menentukan ciri seseorang,
3. manusia tidak akan bisa dipisahkan dari
budayanya.
2. KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA
isu-isu tentang antar atau lintas
budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam dekade 1960-an, yang
selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun,
rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis
yang memecahbelah secara meningkat pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini
menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk kehidupan pada
abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa
maupun profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan
yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi keragaman dan perbedaan.
Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat
dibutuhkan dalam kehidupan manusia abad-21.
Dalam bidang konseling dan
psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai kekuatan keempat setelah
pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik (Paul Pedersen, 1991). Suatu
masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya
secara berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya
secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah
diartikan secara beragam dan berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan
budaya yang memberi artinya.
Definisi-definisi awal tentang
lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya;
sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya
terbatas pada variabel-variabelnya (Sue dan Sue, 1990). Namun, argumen-argumen
yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang
dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna,
dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama,
keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan
Birman, 1994).
Para ahli dan praktisi lintas budaya
pun berbeda paham dalam menggunakan pendekatan universal atau etik, yang
menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok; atau
pendekatan emik (kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik
khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan
konseling khusus mereka. Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun
menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural”
yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh
literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan
teknik-teknik untuk bekerja
dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.
Tampaknya konsep konseling lintas
budaya yang melingkupi dua pendekatan tersebut dapat dipadukan sebagai berikut.
Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para
peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan
konseling yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik sama,
tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabelvariabel lain seperti
seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson,
Morten, dan Sue, 1989:37).
Konseling lintas budaya melibatkan
konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada
pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar
berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan
melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi
diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara
kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya”
(cultural encounter) antara konselor dan klien (Dedi Supriadi, 2001:6).
Maka konseling lintas budaya akan
dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu
bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat
mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku
dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien
berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi
jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam
atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal
dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya
tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda.
Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang
sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan
konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal
dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar
antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur
lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih
"halus".
Konselor perlu menyadari akan
nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku
bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai
pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini
merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut
Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen
yaitu:
- konselor
dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan
konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
- konselor
danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan
konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
- konselor
dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih
lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan
bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah:
- latar
belakang budaya yang dimiliki oleh konselor,
- latar
belakang budaya yang diimiliki oleh klien,
- asumsi-asumsi
terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan
- nilai-nilai
yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan
yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
- Nah,
dari uraian diatas, ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu:
- Memahami
nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali
bahwa tiap manusia berbeda.
- Sadar
bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral
- Memahami
bahwa kekuatan susio-politik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan
budaya dalam kelompok
- Dapat
berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup
- Jujur
dalam konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada
kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
3. Tujuan
dan fungsi konseling lintas budaya
·
Tujuan agar Konselor dapat menyadari
keberadaan budaya klien dan sensitif terhadap kebudayaan klien, sehingga dapat
menghargai perbedaan dan hal itu dapat membuat konselor merasa nyaman dengan
perbedaan yang ada antara dirinya dan klien dalam bentuk ras, etnik, kebudayaan,
dan kepercayaan. Dan juga supaya konselor dapat memahami bagaimana ras,
kebudayaan, etnik, dan sebagainya yang mungkin mempengaruhi struktur
kepribadian, pilihan karir, manifestasi gangguan psikologis, perilaku mencari
bantuan, dan kecocokan dan ketidakcocokan dari pendekatan konseling.
·
Fungsi bagi seorang konselor, konseling
lintas budaya ini berfungsi memahami dampak yang mungkin terjadi dari perbedaan
budaya ini. Pengetahuan mereka tentang perbedaan komunikasi, bagaimana gaya
komunikasi ini mungkin akan menimbulkan perselisihan atau membantu perkembangan
dalam proses konseling pada klien, dan bagaimana cara mencegah dampak yang
mungkin terjadi itu, sehingga konselor dapat mengentaskan permasalahan yang
sedang dialami klien akan tetapi tidak hanya berusaha membantu klien keluar
dari masalahnya saja konselor pun berusaha memelihara dan mengembangkan
potensi-potensi dari dalam diri klien khususnya kesadarannya terhadap keragaman
budaya sehingga akan dapat lebih menghargai agama, keyakinan dan nilai yang
dimiliki oleh orang lain, termasuk atribut dan hal-hal yangbersifat tabu,
karena hal tersebut mempengaruhi pandangan seseorang.
B.
Pendekatan
Etik dan Emik
1. Pengertian
Etik dan Emik
Kata ethic dan
emic merupakan istilah antropologi yang dikembangkan oleh Pike (1967, dalam
Segal, 1990). Pike menggunakan istilah etik dan emik untuk menjelaskan dua
sudut pandang dalam mempelajari perilaku dalam kajian budaya. Etik sebagai
titik pandang dalam mempelajari budaya dari luar sistem budaya tersebut, dan
merupakan pendekatan awal dalam mempelajari suatu sistem asing. Sedangkan emik
sebagai titik pandang merupakan studi perilaku dari dalam sistem budaya
tersebut (Segal, 1990).
Secara
sederhana, definisi Etik dan Emik adalah suatu kebenaran yang diakui, diterima oleh
seluruh masyarakat tanpa memandang perdebatan budaya, dengan kata lain
kebenaran yang dimaksud berlaku untuk semua orang (bersifat universal).
Sebaliknya, Emik adalah suatu kebenaran yang hanya diterima dan diakui oleh
masyarakat setempat dan tidak berlaku bagi orang yang berasal dari budaya yang
berbeda. Emik dalam hal ini menawarkan sesuatu yang lebih obyektif.
2.
Pendekatan Etik dan Emik dalam Konseling
Lintas Budaya
Emik
dan Etik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi yang cukup mengundang
perdebatan. Emik (native point of view) misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena
dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, etik merupakan
penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati)
untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.
Secara
sangat sederhana emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji, sedangkan
etik mengacu pada pandangan si pengamat. Pendekatan emik dalam hal ini memang
menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya
dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri berupa
definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri.
Bahwa
pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis
proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik.
Etik mencakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai
budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang
universal.
Sedangkan
emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya
yang berbeda dengan demikian sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat
khas-budaya (culture-specific). Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui
sebagai kebenaran, emik dan etik merupakan konsep-kosep yang kuat (powerful).
Kalau kita tahu sesuatu tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai
kebenaran dan hal itu adalah suatu etik (alias universal), maka kebenaran sebagaimana
kita ketahui itu adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya apa pun.
Kalau yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai
kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa
yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang
dari budaya lain.
C.
Budaya
dan Perilaku Kognisi
1. Budaya
Budaya
atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang
dan dimilikibersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk system agama
dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusahaberkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
2. Perilaku
Kognisi
Perilaku merupakan
respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun
dari dalam dirinya (Notoatmojo, 2010). Sedangkan menurut Wawan (2011) Perilaku merupakan
suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan
tujuan baik disadari maupun tidak.
Kognisi
adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-
masukan dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri Dayakisni
(2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap
benda atau obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Selain kedua
hal di atas, pemberian kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari
masing-masing objek tersebut. Proses-proses mental dari kognisi mencakup
persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu
kategorisasi (pengelompokkan), memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem
solving).
D.
Budaya
dan Perilaku Bahasa.
1. Pengertian
Perilaku dan Bahasa
Perilaku
adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan
yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja,
kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas
manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak
luar (Notoatmodjo, 2003).
Bahasa
adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa lambang bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia. Jadi bahasa tersebut tidak dapat dipisahkan
dengan manusia. Dengan adanya bahasa kita dapat berhubungan dengan masyarakat
lain yang akhirnya melahirkan komunikasi dalam masyarakat.
2. Hubungan
Budaya dan Perilaku Bahasa
Perlu
kita ketahui, bahwa budaya dan perilaku bahasa memiliki hubungan yang sangat
berkaitan. Hal itu dapat ditunjukkan dari sikap berbahasa masyarakat yang mencerminkan
loyalitas penggunaan bahasa dalam masyarakat. Hubungan antara kebudayaan dengan
bahasa ialah budaya memengaruhi perilaku berbahasa. Jadi, budaya juga mencakup
sifat dan sikap yang dimiliki oleh masyarakat. Bila suatu masyarakat ingin
meningkatkan kemampuan berbahasa, masyarakat tersebut harus mampu menghilangkan
semua sifat-sifat negatif yang ada. Hal itu dikarenakan, Perilaku berbahasa
erat kaitannya dengan sikap maka sifat negatif tampak saat berbahasa.
3. Kaitan
Budaya Dan Perilaku Bahasa Dengan Konseling
budaya
dan perilaku bahasa dapat membantu konselor dalam proses konseling. Ketika
perilaku bahasa disebabkan oleh budaya, dalam perilaku bahasa memiliki sikap
bahasa yang dapat menjadi suatu acuan konselor dalam mengenali masalah klien
dan itu dapat membantu klien dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi
klien.
E.
Budaya
dan Emosi.
1. Emosi
Dalam
kajian psikologi, emosi menurut William James adalah sebuah hasil dari ekspresi
perilaku kita terhadap sebuah stimulus yang menghasilkan reaksi tersebut. Emosi
adalah bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Kehidupan tanpa
emosi akan terasa hampa. Kebahagiaan ketika menatap senyum orang yang kita cintai,
keceriaan ketika bermain-main, dan kebanggaan kita dalam mencapai suatu tujuan.
Bahkan perasaan sedih pun juga memberi arti bagi kehidupan manusia. Emosi
memberi tahu siapa kita, seperti apa kualitas hubungan kita dengan seseorang,
dan bagaimana kita berperilaku selama ini dan bagaimana berperilaku di esok
hari. Emosi memberi makna akan setiap peristiwa yang kita alami dan warna dalam
kehidupan kita. Emosi memegang kunci keberhasilan manusia. Manusia boleh fokus
pada pengembangan intelektualitas dan pikiran kritis: inovasi-teknologi,
argumentasi teori dan politik, prestasi karir-finansial, namun emosi itulah
yang memberi insight dan memegang kunci yang menjadikan semua itu terjadi.
Emosi jugalah yang membedakan manusia dengan ciptaannya.
Emosi memiliki beberapa fungsi yaitu:
a) Membantu mempersiapkan tindakan (preparing us for
action). Emosi bertindak sebagai penghubung antara peritiwa eksternal di
lingkungan dengan respon perilaku individu..
b) Membentuk perilaku akan datang (shaping our future
behavior). Emosi membantu kita menyediakan simpanan respon untuk perilaku di
masa yang akan datang.
c) Membantu kita untuk mengatur interaksi sosial
(helping us to regulate social interaction). Emosi yang diekspresikan menjadi
sinyal dan membantu kita dalam berinteraksi, khususnya begaimana seharusnya perilaku
kita ataupun sebaliknya. Emosi seringkali diletakkan dalam suatu kontinum
dimana di dalamnya terdapat gradasi kualitas dan intensitas serta tiap ujungnya
merupakan kontinum kondisi paling ekstrim, contohnya dari
kebahagiaan-kesedihan.
2. Kajian
lintas budaya dalam mendefenisikan emosi
Dalam
mendefinisakn emosi, psikologi Amerika kerap mengandaikan bahwa yang
dibicarakan adalah sesuatu yang sama untuk seluruh manusia. Memang, banyak studi
yang menyetakan bahwa hampir setiap kebudayaan memiliki suatu konsep tentang emosi.
Tetapi tidak semua budaya di dunia memiliki konsep tentang emosi. Levy misalnya
mengatakan bahwa orang Tahiti tidak punya kata untuk emosi. Luzt juga mengatakan
bahwa orang Ifaluk dari kepulauan Mikronesia tidak memiliki kata untuk emosi.
Dengan demikian barangkali kata dan konsep emosi adalah sesuatu yang khas untuk
budayabudaya tertentu saja. Bahkan diantara budaya-budaya yang memiliki kata untuk
emosi, kata tersebut bisa saja tidak memiliki makna yang sama dengan kata “emotion”
dalam bahasa Inggris. Sebagai contoh, Matsuyama, Hama, Kawamura dan Mine
menganalisis kata-kata emosional dalam bahasa Jepang, termasuk kata-kata yang pada
umumnya dianggap sebagai macam emosi (seperti angry dan sad).
3. Ekspresi
emosi dalam bingkai budaya
Berbicara
mengenai individu manusia tidak bisa lepas dari konteks budaya dalam hidupnya.
Bagaimana pun keduanya adalah saling berpengaruh. Bagitu pun kaitannya dengan
emosi, setiap budaya adalah unik dan berbeda dalam bagaimana budaya tersebut memberi
arti, melihat, mengelola, menerima dan mengekspresikannya. Margareth Mead dalam
studi antropologinya menemukan bahwa ekpresi muka tidaklah universal. Ekspresi emosi
adalah suatu hal yang dipelajari sebagaimana bahasa, sehingga bagaimana setiap budaya
memiliki bahasa yang berbeda, maka setiap budaya memiliki ekspresi emosi pada muka
yang berbeda pula. Dari berbagai penelitian Kenyataan bahwa ekpresi emosi pada muka
diekspresikan dengan sama secara universal pada beberapa orang sangat sulit diterima
dan dipercaya, terlebih lagi bagi orang yang berpengalaman yang sebaliknya. Mereka
berkeyakinan bahwa budaya sangat mempengaruhi ekspresi muka seseorang.
4. Budaya
Mempengaruhi Persepsi Emosi
Budaya
dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap emosi, hal itu akan emnentukan
tingkah laku seseorang mengenai penerimaan atau penolakan yang akhirnyaakan
emnjadikan emosi yang negative atau emosi yang positif, misalnya ialah budaya
di jaman dahulu dimana perempuan diwajibkan terus menerus di dalam rumah, tidak
diperbolehkan untuk bisa membaca, dan tidak diperbolehkan melawan lelaki.Budaya
tersebut akhirnya menimbulkan rasa pertentangan dan menimbulkan luapan emosi
hingga budaya tersebut mulai dihilangkan dengan emansipasi dan kini menjadi
lebih terbuka, setiap lelaki dan wanita berhak menyampaikan emosi dengan cara
yang benar dan cara yang sama, perempuan tidak emnjadi sosok yang selalu di
bawah dan sosok yang selalu menurut.
F.
Budaya
dan Perilaku Sosial dan Psikomotor
1. Pengertian
Perilaku Sosial
Perilaku
sosial adalah suasana saling ketergantungan yang merupakan keharusan untuk
menjamin keberadaan manusia (Rusli Ibrahim, 2001). Sebagai bukti bahwa manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidup sebagai diri pribadi tidak dapat melakukannya sendiri melainkan
memerlukan bantuan dari orang lain.Ada ikatan saling ketergantungan diantara satu
orang dengan yang lainnya. Artinya bahwa kelangsungan hidup manusia berlangsung
dalam suasana saling mendukung dalam kebersamaan. Untuk itu manusia dituntut
mampu bekerja sama, saling menghormati, tidak menggangu hak orang lain, toleran
dalam hidup bermasyarakat.
·
Menurut Lowrence Green, perilaku
ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor :
1. Faktor predisposisi (predis posing factors) yang
terwujud dalam pengetahuan, sikap kepercayaan, keyakinan, nilai – nilai dan
sebagainya.
2. Faktor pendukung (enabling factors) yang terwujud
dalam linkungan fisik, tersedia atau tidak tersedia sarana.
3. Faktor pendorong (reinforcement factors) yang terwujud
dalam sikap dan perilaku, kebijakan dan lain – lain.
·
Baron dan Byrne berpendapat bahwa ada
empat kategori utama yang dapat membentuk perilaku sosial seseorang, yaitu :
1. Perilaku dan karakteristik orang lain.
2. Proses kognitif.
3. Faktor lingkungan.
4. Latar budaya sebagai tampat perilaku dan
pemikiran sosial itu terjadi.
2. Pengertian
Psikomotor
Psikomotorik
adalah domain yang meliputi perilaku gerakan dan koordinasi jasmani,
keterampilan motorik dan kemampuan fisik seseorang. Keterampilan yang akan
berkembang jika sering dipraktekkan ini dapat diukur berdasarkan jarak,
kecepatan, kecepatan, teknik dan cara pelaksanaan.
·
Menurut Davc (1970) klasifikasi tujuan
domain psikomotor terbagi lima kategori yaitu :
a)
Peniruan.
b)
Manipulasi.
c)
Ketetapan.
d)
Artikulasi.
e)
Pengalamiahan.
3. Pengaruh
Budaya Dalam Pembentukan Perilaku Sosial Psikomotor
Pada
hakikatnya manusia tidak mungkin hidup tanpa keberadaan orang lain karena kodratnya
sebagai mahluk sosial (zoon politicon). Kehidupan bersama dengan orang lain
tentu dilandasi oleh aturan-aturan tertentu, karena setiap orang tidak dapat
berbuat sekehendak hatinya sendiri. Terdapat kecenderungan bahwa manusia ingin
hidup bebas karena kodratya yang lain sebagai mahluk individu, sehingga manusia
diciptakan dengan keunikan-keunikan tertentu. Akan tetapi kalau keinginan
tersebut dipaksakan akan berbenturan dengan keinginan dan kepentingan pihak
lain, akan menimbulkan pertentangan.
4. Hubungan
Antar Budaya Perilaku Psikomotor
·
Perilaku
kehidupan
sehari-hari.Secara konkrit, pengalaman belajar yang perlu dilakukan agar siswa
mencapai berbagai tindakan tingkatankompetensi afektif tersebut antara lain dengan
mengamati dan menirukan perilaku. contoh/model/panutan,mendatangi objek studi
yang dapat memupuk pertumbuhan nilai, berbuat atau berpartisipasi aktif sesuai
dengantuntunan nilai yang dipelajari, dan sebagainya.
·
Psikomotor
Kompetensi
kognitif meliputimenghafal, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesiskan,
dan menilai. Pengalaman belajar yang relevan dengan setiap tingkatan tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut : Pengalaman belajar untuk tingkat hafalan
dapat berupa berlatih menghafal verbal atau parafrase di luar kepala, berlatih
menemukan taktikmenghafal misalnya menggunakan yang perlu dihafal dapat berupa
fakta, konsep, prinsip, dan prosedur.
Pengalaman
belajar adalah kegiatan fisik maupun mental yang perlu dilakukan oleh siswa
dalam rangkamencapai kompetensi dasar dan materi pelajaran. Berbagai alternatif
pengalaman belajar dapat dipilih sesuaidengan jenis kompetensi serta materi yang
dipelajari.Pengalaman belajar dapat dilakukan dengan baik di dalamkelas maupun di
luar kelas. Pengalaman belajar di dalam kelas dilaksanakan dengan jalan mengadakaninteraksi
antara siswa dengan sumber belajar. Bentuk pengalaman belajar di dalam kelas
dapat berupa telaah buku, telaah Undang-Undang, telaah hasil penelitian, mengadakan
percobaan di laboratorium, mengukur tinggibenda menggunakan klinometer, kerja
praktek di studio, dan sebagainya.Pengalaman belajar diluar kelasdilakukan
dengan jalan mengunjungi objek studi yang berada di luar kelas.
0 Komentar