DUNIASAJA.COM | Suku Alas
Suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di
Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh (yang juga lazim disebut Tanah Alas).
Kata "alas" dalam bahasa Alas berarti "tikar". Hal ini ada
kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di
sela-sela Bukit Barisan. Daerah Tanah Alas dilalui banyak sungai, salah satu di
antaranya adalah Lawe Alas (Sungai Alas).
Sebagian besar suku Alas tinggal di pedesaan dan hidup
dari pertanian dan peternakan. Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk daerah
Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi,dan kemiri, serta
mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan.
Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah kuda, kambing, kerbau, dan
sapi.
Kampung atau desa orang Alas disebut kute. Suatu kute
biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu
merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka
adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik garis keturunan patrilineal,
artinya garis keturunan laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge,
artinya jodoh harus dicari di merge lain.
Suku Alas 100% adalah penganut agama Islam.
2.
Bahasa
Dalam
pergaulan sehari-hari Suku Alas mempunyai Bahasa sendiri yakni Bahasa Alas
(Cekhok Alas) Bahasa ini merupakan rumpun bahasa dari Austronesia suku Kluet di
kabupaten Aceh Selatan juga menggunakan Bahasa yang hampir sama dengan bahasa
suku Alas. Bahasa ini memiliki banyak kesamaan kosakata dengan bahasa Karo yang
dituturkan masyarakat Karo di Provinsi Sumatra Utara. Pada tahun 2000, jumlah
penutur bahasa ini mencapai 195.000 jiwa. Diperkirakan bahasa ini merupakan
turunan dari bahasa Batak, namun Masyarakat Alas sendiri menolak label
"Batak" karena alasan perbedaan Agama yang dianut. Sementara itu,
tidak diketahui pasti apakah bahasa ini merupakan bahasa tunggal atau bukan.
3. Sejarah
Ukhang Alas atau khang Alas atau Kalak Alas telah
bermukim di lembah Alas, jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia
di mana keadaan penduduk lembah Alas telah diabadikan dalam sebuah buku yang
dikarang oleh seorang bangsa Belanda bernama Radermacher (1781:8), bila dilihat
dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas, pada tahun 1325 (Effendy,
1960:26) maka jelas penduduk ini sudah ada walaupun masih bersifat nomaden
dengan menganut kepercayaan animisme.
Nama Alas diperuntukan bagi seorang atau kelompok etnis,
sedangkan daerah Alas disebut dengan kata Tanoh Alas. Menurut Kreemer (1922:64)
kata "Alas" berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja
Lambing) keturunan Raja Pandiangan di Tanah Batak. Dia bermukim di desa paling
tua di Tanoh Alas yaitu Desa Batu Mbulan.
Menurut Iwabuchi (1994:10) Raja yang pertama kali
bermukim di Tanoh Alas adalah terdapat di Desa Batumbulan yang dikenal dengan
nama RAJA LAMBING, keturunan dari Raja Pandiangan di Tanah Batak. Raja Lambing
adalah moyang dari merga Sebayang di Tanah Karo, Selian di Tanah Alas, dan
Solin di Tanah Pakpak (Suak Simsim). Raja Lambing merupakan anak yang paling
bungsu dari tiga bersaudara yaitu abangnya tertua adalah Raja Patuha di Dairi,
dan nomor dua adalah Raja Enggang yang hijrah ke Kluet Aceh Selatan, keturunan
dan pengikutnya adalah merga Pinem atau Pinim.
Kemudian Raja Lambing hijrah ke Tanah Karo di mana
keturunan dan pengikutnya adalah merga Sebayang dengan wilayah dari Tigabinanga
hingga ke perbesi dan Gugung Kabupaten Karo.
Diperkirakan pada abad ke 12 Raja Lambing hijrah dari
Tanah Karo ke Tanah Alas, dan bermukim di Desa Batumbulan, keturunan dan
pengikutnya adalah merga Selian. Di Tanah Alas Raja Lambing mempunyai tiga
orang anak yaitu Raja Lelo (Raje Lele) keturunan dan pengikutnya ada di
Ngkeran, kemudian Raja Adeh yang merupakan moyangnya dan pengikutnya orang
Kertan, dan yang ketiga adalah Raje Kaye yang keturunannya bermukim di
Batumbulan, termasuk Bathin. Keturuan Raje Lambing di Tanah Alas hingga tahun
2000, telah mempuyai keturunan ke 26 yang bermukim tersebar diwilayah Tanah
Alas (Effendy, 1960:36; sebayang 1986:17).
Setelah Raja Lambing kemudian menyusul Raja Dewa yang
istrinya merupakan putri dari Raja Lambing. Raja Lambing menyerahkan tampuk
kepemimpinan Raja kepada Raja Dewa (menantunya). Yang dikenal dengan nama Malik
Ibrahim, yaitu pembawa ajaran Islam yang termashur ke Tanah Alas. Bukti situs
sejarah ini masih terdapat di Muara Lawe Sikap, desa Batumbulan. Malik Ibrahim
mempunyai satu orang putera yang diberinama ALAS dan hingga tahun 2000 telah
mempunyai keturunan ke 27 yang bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara,
Banda Aceh, Medan, Malaysia dan tempat lainnya.
Ada hal yang menarik perhatian kesepakatan antara putera
Raja Lambing (Raja Adeh, Raja Kaye dan Raje Lele) dengan putra Raja Dewa (Raja
Alas) bahwa syi’ar Islam yang dibawa oleh Raja Dewa diterima oleh seluruh
kalangan masyarakat Alas, tetapi adat istiadat yang dipunyai oleh Raja Lambing
tetap di pakai bersama, ringkasnya hidup dikandung adat mati dikandung hukum
(Islam) oleh sebab itu jelas bahwa asimilasi antara adat istiadat dengan
kebudayaan suku Alas telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.
Pada awal kedatanganya Malik Ibrahim migrasi melalui
pesisir bagian timur (Pasai) sebelum ada kesepakatan diatas, ia masih memegang
budaya matrilinealistik dari Minangkabau, sehingga puteranya Raja Alas sebagai
pewaris kerajaan mengikuti garis keturunan dan merga pihak ibu yaitu Selian.
Setelah Raja Alas menerima asimilasi dari Raja Lambing dengan ajaran Islam,
maka sejak itulah mulai menetap keturunannya menetap garis keturunannya
mengikuti garis Ayah. Raja Alas juga dikenal sebagai pewaris kerajaan, karena
banyaknya harta warisan yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya sejak itulah
dikenal dengan sebutan Tanoh Alas. Setelah kehadiran Selian di Batumbulan,
muncul lagi kerajaan lain yang di kenal dengan Sekedang yang basis wilayahnya
meliputi Bambel hingga ke Lawe Sumur.
Raja sekedang menurut beberapa informasi pada awal kehadiranya di Tanah Alas
adalah untuk mencari orang tuanya yaitu RAJA DEWA yang migran ke Tanah Alas.
Raja Sekedang yang merupakan pertama sekali datang ke Tanah Alas diperkirakan
ada pertengahan abad ke 13 yang lalu yaitu bernama NAZARUDIN yang dikenal
dengan panggilan DATUK RAMBUT yang datang dari Pasai.
Pendatang berikutnya semasa Raja Alas yaitu kelompok
Megit Ali dari Aceh pesisir dan keturunannya berkembang di Biak Muli yang
dikenal dengan merga Beruh. Lalu terjadi migran berikutnya yang membentuk
beberapa marga, namun mereka tetap merupakan pemekaran dari Batumbulan,
penduduk Batumbulan mempuyai beberapa kelompok atau merga yang meliputi Pale
Dese yang bermukim di bagian barat laut Batumbulan yaitu terutung pedi, lalu
hadir kelompok Selian, datang kelompok Sinaga, Keruas dan Pagan disamping itu
bergabung lagi marga Munthe, Pinim dan Karo-Karo.
Marga Pale Dese merupakan penduduk yang pertama sekali
menduduki Tanah Alas, namun tidak punya kerajaan yang tercatat dalam sejarah.
Kemudian hadir pula Deski yang bermukim di kampong ujung barat.
sedangkan menurut Bernard H.M Vlekke "Nusantara: A
History of Indonesia" Diterjemahkan oleh: Samsudin Berlin (Nusantara:
Sejarah Indonesia) Dicetak oleh: PT Gramedia, Jakarta, Cet 4, 2008.
Kepulauan Indonesia terletak di jalur laut utama antara
Asia bagian timur dan selatan. Dalam wilayah antara seperti ini, dengan
sendirinya bias diperkirakan akan terdapat populasi dengan beragam asal usul.
Penemuan antropologis menambahkan banyak kerumitan pada studi mengenai masalah
asal usul manusia dalam gugusan pulau itu. Pada 1890 Dr. Eugene Dubolis
menemukan sisa-sisa sebuah kerangka yang tampaknya saat itu tidak dapat
diklasifikasikan sebagai kera atau manusia. Diskusi-diskusi ilmiah mengenai
sisa-sisa "Pithecanthopus erectus" (nama yang disarankan Dubois)
menghasilkan kesimpulan yang tidak pasti. Untuk waktu lama, hanya sedikit
penemuan baru yang bias menjelaskan masalah sulit ini. Tapi 40 tahun kemudian,
gambaran ini tiba-tiba berubah. Antara 1931 dan 1941, antropolog Oppenoorth dan
Von Koenigswald menemukan fosil sisa-sisa beberapa jenis manusia purba yang
berasal dari Kala Pleistosen awal atau pertengahan. Semua penemuan ini terjadi
di sekitar Surakarta di Jawa Tenggah. Penemuan itu ternyata sangat penting bagi
antropologi dan biologi pada umumnya. Tapi tidak berarti bagi sejarah
Indonesia. Orang-orang Indonesia zaman purba adalah keturunan imigran dari
benua Asia. Antara zaman Pithecanthpopus dan tibanya para imigran mungkin ada
sepanjang waktu ribuan abad.
Ada beberapa teori mengenai perkembangan etnologis
Indonesia. Keadaan linguistik dan etnisnya sangat kompleks. Beberapa ratusan
bahasa ditutut di kepulauan Indonesia, dan sering kali beberapa bahasa dipakai
di satu pulau kecil. Penduduk satu wilayah kecil bisa terdiri atas fenotipe
yang sangat berbeda. Tidak ada satu pulau, betapun kecilnya, yang penduduknya
tidak campur-baur, dan di semua pulau besar (kecuali jawa) kita temukan
suku-suku bangsa primitive hidup berdampingan dengan orang-orang dengan derajat
peradapan tinggi. Salah satu aspek paling mencolok dari masalah ini ialah bahwa
di setiap pulau besar ada perbedaan besar antara penduduk wilayah pantai dan pedalaman.
P. dan F. Sarasin bersaudara, penjelajah terkenal
pedalaman Sulawesi, adalah ilmuan-ilmuan pertama yang merumuskan suatu teori
yang masuk akal tentang peradapan antara suku-suku bangsa pedalaman dengan
penduduk pantai ini. Teori ini kemudian dikembangkan lagi oleh
antropologi-antropologi lain. Teori Sarasin bersaudara ini adalah bahwa
populasi asli kepulauan Indonesia adalah orang dengan fenotipe bkulit gelap dan
tubuh kecil, dan bahwa kelompok ini awalnya mendiami seluruh Asia bagian
tenggara. Pada waktu itu wilayah itu adalah satu daratan yang solid. Tentu
saja, es dari periode glasia tidak pernah menutupi pulau-pulau Hindia Timur
itu, tetapi pada penghujung periode glacial yang terakhir level laut naik
begitu tinggi sehingga laut cina Selatan dan Laut Jawa terbentuk dan memisahkan
wilayah pegunungan vulkanik Indonesia dari daratan utama. Sia-sia penduduk asli
yang terpisah-pisah dianggap masih tinggal di daerah-daerah pedalaman,
sementara daerah-daerah pantai yang baru terbentuk dihuni oleh
pendatang-pendatang baru. Sarasin bersaudara menyebut keturunan orang asli itu
orang Vedda, menurut nama salah satu kelompok paling terkenal yang masuk dalam
kelompok ini, orang Hieng di Kamboja, Miao-tse dan Yao-jen di Cina, serta Senoi
di semenanjung Malaya. Di kepulauan Indonesia terdapat orang yang tinggal di
hutan Sumatra (Kubu, Lubu, dan Mamak) serta Toala di Sulawesi. Riset di
kemudian hari memungkinkan penguraian lebih jauh terhadap benang ruwet yang
membentuk pola antropologis Indonesia. Kumpulan bukti antropologis dan
arkeologis tampaknya menunjukkan bahwa populasi tertua kepulauan Indonesia
berhubungan erat dengan nenek moyang Melanesia masa kini dan bahwa “orang
Vedda” yang disebutkan Sarasin tersebut termasuk apa yang saat itu dinamakan
"ras Negrito" yang walaupun jarang, masih terdapat di seluruh Afrika,
Asia Selatan, dan Oceania. Jadi Vedda adalah “imigrasi” pertama yang masuk ke
dunia pulau yang sudah berpenghuni dan masih dapat dibedakan dari pendahulu
mereka berkat model perkakas batu yang mereka tinggalkan. Kedua populasi itu
dikatakan hidup di tahap Mesolitik.
Lama setelah tibanya orang Negrito, datang populasi baru
ke Indonesia. Budaya mereka tipe Neolitik dan permukiman awal mereka yang
menyerupai gerabah Cina kuno. Hari ini pun orang dari kelompok awal ini pemalu
dan jarang terlihat, kecuali didatangi di tempat mereka di pedalaman yang masih
liar. Mereka tidak punya pilihan lain kecuali melebur atau musnah.
Sarasin bersaudara menyebut pendatang baru itu terdiri
dari dua gelombang, Melayu Proto dan Melayu Deutero. Karena kedatangan mereka
dalam dua gelombang migrasi, terpisah dalam waktu tenggang yang menurut
perkiraan lebih dari 2.000 tahun. Melayu Proto diyakini adalah nenek monyang
mungkin dari semua orang yang kini dianggap masuk kelompok Melayu Polinesia
yang tersebar dari Madagaskar sampai pulau-pulau paling timur di pasifik,
mereka diperkirakan bermigrasi ke Kepulauan Indonesia dari Cina bagian selatan.
Di Cina di tempat tinggal asli mereka diperkirakan berada di wilayah yang
secara kasar termasuk dalam provinsi Yunnan sekarang. Dari situ mereka
bermigrasi ke Indonesia dan Siam dan kemudian ke Kepulauan Indonesia.
Kedatangan mereka tampaknya bersamaan dengan munculnya perkakas neolitik
pertama di Indonesia dan dengan demikian dapat di tentukan pada sekitar 3.000
SM. Menurut teori Sarasin, keturunan Melayu Proto pada gilirannya terdesak ke
pedalaman oleh datangnya imigran baru, Melayu Deutero, yang juga berasal dari
Indocina bagian utara dan wilayah sekitarnya. Melayu Deutero diidentifikasikan
dengan orang yang memperkenalkan perkakas dan senjata besi kedunia kepulauan
Indonesia. Studi mengenai perkembangan peradapan di Indocina tampaknya
menunjukkan suatu tanggal bagi peristiwa itu: imigrasi itu terjadi antara 300 dan
200 SM. Dengan sendirinya Melayu Proto dan Melayu Deutero berbaur dengan bebas,
yang menjelaskan kesulitan membedakan kedua kelompok itu di antara orang
Indonesia. Melayu Proto dianggap mencakup Alas dan Gayo di Sumatra bagian utara
dan Toraja di Sulawesi. Hampir semua orang lain di Indonesia, kecuali orang
papua dan pulau-pulau di sekitarnya, dimasukkan dalam kelas Melayu Deutero.
4. Tolong Menolong Masyarakat Alas
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Muliadi Imami (2015) dalam desertasinya yang
berjudul Perbedaan Perilaku altruisme dalam Kalangan empat suku utana di Aceh
Tenggara, ia menemukan beberapa ciri khas budaya menolong masyarakat Alas. Suku
Alas melakukan tolong menolong dalam hal apapun.
·
Bidang sosial ekonomi
Bagi
salah seorang dari suku Alas yang baru membentuk rumah tangga, secara adat akan
dibantu orang tua dari pihak lelaki dan orang tua di pihak perempuan. Orang
tuanya akan memberikan bantuan secara percuma sesuai dengan kemampuannya.
Budaya memberi bantuan untuk pengantin dalam suku Alas dikenal dengan berbagai
istilah iaitu: (1) Jawè, artinya pisah rumah. Pengantin yang
dianggap telah cukup masa tinggal di rumah ibubapanya (orang tua pengantin
lelaki) harus membentuk rumahtangga yang baik dengan tinggal di rumah lain.
Sebagai modal awal, ibubapanya akan membeikan modal usaha dan beberapa
peralatan yang diperlukan. Pemberian modal ini biasanya disimbolkan dengan
pemberian beras satu bambu, air satu teko, ayam satu pasang, peralatan makan
seadanya. Ini menunjukkan bahwa orang tuanya mendidiknya untuk mandiri. Adapun
beras dan air sebagai simbol makanan pokok. Ayam sepasang sebagai modal usaha
dalam peternakan, dan piring, gelas serta peralatan dapur seadanya untuk
memasak makanan. Pemberian ini dimaksudkan sebagai modal awal dalam memulai
kehidupan yang baru dan selanjutnya harus berusaha mandiri “berdiri di atas
kakinya sendiri”.(2) Pesula’i, bermaksud memberikan ‘hadiah’
sebagai cikal bakal atau modal dalam memulai kehidupan yang baru. Pesula’i
adalah pemberian dari orang tua pengantin perempuan kepada anaknya dengan
maksud membantunya dalam menempuh hidup baru. Budaya ini menandakan bahwa ini
adalah pemberian yang terakhir dari mereka untuk anaknya, karena selannjutnya
ia akan menjadi tanggungjawab suaminya. Barang-barang yang biasanya diberikan
adalah perhiasan dari emas dan alat-alat rumah tangga yang diperlukan.
·
Bidang pertanian
Pada
bidang pertanian ada beberapa istilah tolong menolong yang dilakukan. (1)
Budaya Peleng Akhi, Budaya ini mempunyai arti ‘bergiliran’.
Maksudnya, bekerja sama dalam melakukan pekerjaan di bidang pertanian dengan
cara bergiliran. Orang yang telah dibantu pekerjaannya oleh orang lain
diwajibkan untuk menggantinya dengan bekerja di lahan pertanian orang tersebut
di lain waktu (2) Nempuhi, Artinya membantu orang lain dalam hal
bertani tanpa mengharapkan ganjaran dari pekerjaan itu. Budaya ini biasanya
dilakukan kepada orang yang dihormati separti guru atau pemimpin kampung, serta
orang yang mempunyai kelemahan secara fisik. Perilaku ini dimaksudkan agar guru
atau pemimpin dapat melakukan tugasnya dengan baik dalam mendidik atau memimpin
masyarakat.Khusus untuk membantu guru biasa disebut dengan istilah nempuhi
gukhu. Pada kegiatan nempuhi ini biasanya mereka membawa
makanan sendiri sebagai tanda keikhlasan dalam membantu. Sebaliknya, bila yang
dibantu itu guru atau pemimpin, mereka mempunyai kesadaran untuk menyediakan
makanan dan minuman kepada para pekerja tersebut sebagai bentuk penghargaan dan
terimakasih.
·
Acara Adat Istiadat
Suku alas pada tahun 1904
Upacara
adat istiadat yang ada dalam masyarakat suku Alas adalah ‘Turun Mandi’, ‘Sunat
Khitan’, ‘Perkawinan’, dan ‘Kematian’. Pada setiap kegiatan ini dikenal
beberapa budaya tolong menolong yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan
posisinya dalam struktur kekerabatan. Ada tiga struktur kekerabatan dalam suku
Alas yaang dikenal dengan istilah Tungku si telu.
ArtinyaTungku/tempat memasak dengan kayu api yang terdiri dari tiga batu.
Secara filosofis kegiatan memasak hanya dapat dilakukan dengan adanya tiga batu
tersebut, apabila kurang satu maka kuali atau wajan tidak dapat diletakkan di
atasnya sehingga masakan tidak dapat diperoses. Ketiga fungsi kekerabatan dalam
suku Alas tersebut yaitu Wali, Sukut/Senine, dan Pebekhunen/Malu. Adapun
bentuk tolong-menolong yang dilakukan adalah (1) Pemamanen, iaitu
panggilan yang diberikan kepada rombongan yang datang dari pihak Wali yaitu
ayah dan saudara lelaki dari perempuan (Malu) yang mempunyai
hajatan. Pada setiap acara adat Alas, pemamanen mempunyai peran penting karena
mereka adalah tamu yang dimuliakan. Dalam setiap kegiatan mereka akan membawa
bantuan kepada tuan rumah dan biasanya bantuan ini dalam bentuk materi atau
sejumlah uang. Semakin tinggi nilai bantuan maka semakin tinggi pula prestige
yang mereka dapatkan. Begitupula tuan rumah merasa lebih dihormati dan
dimuliakan. Slogan yang menjadi failosofi budaya ini adalah Besar wali
karena malu, besar malu karena wali. (2) Tempuh, artinya
bantuan yang diberikan oleh saudara dekat atau diistilahkan dengan
kelompok sukut artinya orang yang punya kerja (saudara kandung
atau masih mempunyai pertalian darah dan marga). Bantuan ini terkadang
ditentukan dalam musyawarah keluarga, namun terkadang juga tidak ditentukan,
sehingga pemberian didasarkan oleh kesadaran masing-masing yang disesuaikan
dengan kemampuannya, serta bergantung pula pada jauh dekatnya pertalian
kekerabatan yang dimiliki. (3) Nempuhi Wali artinya membantu
wali, bantuan ini diberikan oleh Malu yaitu anak perempuan
atau saudara perempuan yang sudah kawin dan pebekhunen yaitu
suaminya kepada pihak wali yang mempunyai hajatan/acara adat. Dalam setiap
kegiatan bantuan yang mereka berikan adalah dalam bentuk tenaga, misalnya
bertanggung jawab di dapur dalam menyiapkan hidangan dan membereskannya.
Sebenarnya Nempuhi Wali ini merupakan kewajiban yang
ditetapkan dalam budaya suku Alas tidak hanya pada kegiatan yang menyangkut
adat-istiadat, tetapi juga pada kegiatan lainnya dalam kehidupan sehari-hari
seperti membantu di sawah dan lain-lain.
5. Marga
Menurut
buku Sanksi dan Denda Tindak Pidana Adat Alas, Dr Thalib Akbar MSC (2004)
adapun marga–marga etnis Alas yaitu: Selian, Bangko, Deski, Keling, Kepale
Dese, Keruas, Pagan. kemudian hadir lagi marga Acih, Beruh, Gale, Kekaro, Mahe,
Menalu, Mencawan, Munthe, Pase, Pelis, Pinim, Ramin, Ramud, Sambo, Sekedang,
Sugihen, Sepayung, Sebayang dan marga Tarigan.
6. Seni Tari
Adapun kesenian dari etnis
suku Alas (Musyawarah Adat Alas 2003):
1. Tari Mesekat
2. Pelabat
3. Landok
Alun
4. Tangis Dilo
5. Canang
Situ
6. Canang
Buluh
7. Genggong
8. Oloi-olio
9. Keketuk
layakh
7. Kerajinan
Adapun kerajinan tradisional dari etnis alas
seperti:
1. Nemet (mengayam daun rumbia)
2. Mbayu amak (tikar pandan)
3. Bordir pakaian adat
4. Pande besi (pisau bekhemu)
8. Makanan tradisional
Adapun makanan
tradisional dari suku alas adalah:
1. Manuk labakh
2. Ikan labakh
3. Puket Megaukh
4. Lepat bekhas
5. Gelame
6. Puket Megaluh
7. Buah Khum-khum
8. Ikan pacik kule
9. Telukh Mandi
10. Puket mekuah
11. Tumpi
12. Godekhr
13. Puket sekuning
14. Cimpe
15. Getuk
0 Komentar