DUASAJA.COM | Payung Mesikhat
Payung Mesikhat merupakan salah
satu karya budaya dari Aceh yang
telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia pada
tahun 2017. Karya budaya ini masuk dalam domain kemahiran dan kerajinan
tradisional dengan nomor registrasi pencatatan 2017007377. Secara
etimologis, payung mesikhat berarti “payung yang disulam”.
Mesikhat dalam bahasa Alas berarti “disulam atau dibordir”. Payung Mesikhat
merupakan jenis payung yang dihiasi motif tertentu dengan teknik sulam. Payung
Mesikhat merupakan salah satu karya budaya masyarakat Alas, Aceh Tenggara dari
seni menyulam benang yang indah. Payung Mesikhat awalnya digunakan oleh
masyarakat sebagai alat untuk melindungi diri dari panas dan hujan. Topografi
daerah Aceh Tengara yang
berada di lembah Bukit Barisan merupakan daerah yang membentang cukup luas dan
merupakan lahan persawahan produktif. Kondisi lingkungan yang demikian membuat
keberadaan payung cukup penting dalam aktivitas sehari-hari. Payung digunakan
oleh penduduk sebagai pelindung panas dan hujan saat mereka melakukan melakukan
aktivitas sehari-hari. Dalam perkembangannya, payung mesikhat menjadi simbol
daur hidup budaya masyarakat. Keberadaannya menjadi kebutuhan upacara adat yang
syarat nilai dan dianggap penting bagi masyarakat. Sehingga, kehadiran payung
mesikhat menjadi simbol penting dalam upacara pernikahan, upacara khitanan dan
Sunat Rasul, upacara penyambutan tamu, dan lain sebagainya.
2. Sejarah
Sejarah keberadaan payung mesikhat hingga kini masih
menjadi misteri. Secara mitologis yang berkembang sebagai cerita tutur dalam
masyarakat. Payung Mesikhat telah ada dan berkembang pada Suku Alas semenjak
nenek moyang mereka ada. Namun, sangat minim jejak-jejak arkeologis maupun
artefak yang menunjukkan perkembangan sejarah payung mesikhat. Peristiwa
sejarah yang dialami masyarakat Alas menjelang Indonesia merdeka menjadi salah
satu penyebab utama hilangnya artefak dan jejak-jejak arkeologis. Walaupun
Payung sebagai sebuah karya budaya masyarakat Indonesia telah tertera dalam
relief dinding Candi Borobudur abad ke IX di Jawa Tengah. Sedangkan teknik
memintal benang dan teknik sulam telah berkembang di Indonesia setidaknya
semenjak abad ke 15 M, yang tertera dengan jelas dalam lukisan wayang beber
gaya Pacitan di Jawa Timur. Namun patut disayangkan jejak-jejak sejarah payung
mesikhat hingga kini belum terungkap. Menjelang Indonesia merdeka meninggalkan
luka mendalam bagi masyarakat Alas. Tanahnya yang subur membuat eksploitasi
besar-besaran atas hasil pertanian oleh Belanda sehingga melahirkan berbagai
konflik sosial dan perlawanan rakyat. Peristiwa dibakarnya rumah adat
bangunan-bangunan yang memiliki arti penting bagi Suku Alas oleh Belanda pada
tahun 1930-an telah menghancurkan berbagai peninggalan sejarah yang penting.
Peristiwa ini kembali terulang pada saat pendudukan Jepang, dibumi hanguskannya
rumah-rumah adat, bangunan-bangunan bersejarah, dan penjarahan besar-besaran
atas benda-benda adat dan benda bersejarah era Jepang tahun 1944 merupakan
peristiwa penting hilangnya jejak arkeologis kesejarahan Suku Alas. Semua benda
berharga dirampas oleh Jepang dan nyaris tak lagi meninggalkan artefak berharga.
Sisa-sisa peninggalan yang ada sempat dikumpulkan oleh tetua adat dan
ditempatkan pada rumah adat, tetapi peristiwa G 30/S PKI kembali meninggalkan
luka mendalam bagi Suku Alas, dimana hampir diseluruh daerah rumah adat yang
ada di bakar habis. Peristiwa memilukan ini meninggalkan bekas yang mendalam
bagi Suku Alas.
Dampak terbesar dan paling mendalam dalam semua peristiwa
itu adalah masa penjarahan Jepang. Pada tahun 1980-an pernah datang seorang
peneliti dari Jepang ke Aceh Tenggara. Peneliti ini yang merekonstruksi semua
karya budaya Suku Alas, dari peralatan pertanian dan perladangan, peralatan
menangkap ikan, hasil kerajinan, dan semua pernak-pernik Suku Alas dibuat
ulang. Pelaku pembuat rekuntruksi dan beberapa orang yang terlibat dalam
penelitian tersebut sepat dijumpai namun, sayangnya nama dan hasil penelitian
orang Jepang ini tak terlacak lagi. Dalam penelitiannya tersebut, Payung
Mesikhat termasuk karya budaya Suku Alas yang direkonstruksi. Semua hasil
rekonstruksi Suku Alas tersebut di bawa ke Jepang, dan sayangnya tak dijumpai
catatan dan hasil penelitiannya di Indonesia. Sebagai suku minoritas yang
kehilangan identitasnya, usaha penggalian karya budaya sempat dilakukan. Pada
tahun 1990-1995 usaha mengumpulkan benda-benda bersejarah kembali dilakukan
atas inisiatif tetua adat dan rencananya diusulkan ke pemerintah daerah untuk
dibuatkan museum, tetapi pada tahun 2013 pada saat ditinggal naik haji, rumah
adat terbakar. Semenjak itulah jejak-jejak arkeologis kesejarahan Suku Alas
mulai hilang. Jejak keberadaan Payung Mesikhat mulai terkuak pada tahun
1935-an, H. Imam ketua Majelis Adat menuturkan cerita pengalaman ayahnya bahwa
beberapa penyulam Payung Mesikhat yang berkualitas bagus dan memiliki harga
yang tinggi karena rumbainya dibuat dari bahan emas dan perak. karya-karya
mereka banyak dipesan oleh para penjabat kerajaan. Karyanya yang halus sehingga
pesananya juga datang dari para bangsawan Aceh. Jejak keberadaan Payung
Mesikhat mulai menunjukkan tanda-tanda yang jelas baru pada tahun 1960 dimana
tercatat terdapat empat orang seniman yang mumpuni membuat Payung Mesikhat pada
masa itu, yaitu: Mokship (dari Desa Lawe Sagu), Jemidin (dari Desa Bambel),
Gajul (dari Desa Tembakhu), dan Ishak (dari Desa Lawe Sumur). tidak terdapat
catatan jelas sejak kapan mereka membuat Payung Mesikhat, tetapi yang jelas
pada tahun 1960 mereka sangat terkenal sebagai pembuat Payung Mesikhat yang
berkualitas tinggi. Karya-karya mereka hingga kini masih bayak dijumpai
disimpan oleh masyarakat. Payung Mesikhat semakin berkembang pada tahun 1965.
Pada waktu itu lahir motif-motif flora dan fauna yang dibuat secara bebas dan
sangat digemari masyarakat. Motif Angsa, motif Burung, motif Ayam dan lain
sebagainya yang disulam dengan benang-benang berwarna cerah sangat diminati
masyarakat.
Seniman yang memiliki ide penerapan motif flora dan
disulam dengan benang emas tersebut adalam Ipo dan Tok Tajuk. Dua orang seniman ini hingga kini karyanya
sangat terkenal akan kehalusan dan keindahan garapnya. Pada tahun 1973, dengan
kehadiran mesin jahit bordir, Payung Mesikhat makin berkembang. pada masa ini
motif-motif yang diterapkan makin beragam. Pada masa ini pula motif pada Payung
Mesikhat mulai hadir yang berupa motif cerita tertentu, misalnya cerita
perkawinan, cerita khitanan ataupun cerita-cerita Sunah Rasul. Cerita-cerita
tersebut di penggal dalam delapan pembabakan menyesuakan ruang pada Payung
Mesikhat. Jenis motif inilah yang hingga kini masih sangat digemari oleh
masyarakat. Motif-motif yang terdapat pada Payung Mesikhat antara lain motif
Pucuk Nibung, Bunge Tanjung, Tutup Kerandam, Ekhan Kudi, Tempat Ketang, Bunge
Melati, Tangke Sehkape, Pari Ari, Kombinasi Payung Rebung, dan Payung rebung. Perkembangan teknologi modern melahirkan mesin
bordir dengan teknologi komputer. Pada tahun 2015, mesin bordir teknologi
komputer hadir pula pada suku alas yang didatangkan oleh para pengusaha baju
adat dan Payung Mesikhat untuk mengembangkan usahanya. Payung Mesikhat hasil
teknologi modern ini kini turut mewarnai kebutuhan pasar dalam jumlah yang
cukup besar.
3. Bahan-Bahan
Payung
Mesikhat pada awalnya dibuat dari bahan-bahan yang bersifat lokal dan tersedia
cukup berlimpah di daerah Aceh Tenggara.
Bahan-bahan tersebut selain tersedia cukup berlimpah, bagi masyarakat Alas juga
memiliki makna simbol tertentu dan dipercaya memiliki kekuatan sebagai penolak
bala. Adapun bahan dasar Payung Mesikhat antara lain:
1.
Gagang payung terbuat kayu
Beno (sejenis rotan). Kayu Beno dikenal sangat kuat, tidak memuai (lurus),
permukaanya halus dan sangat ringan sehingga nyaman ketika di bawa. Kayu ini
dikaitkan dengan mitos Naga Kesiangan, dimana seekor naga raksasa yang
panjangnya hingga 7 bukit kesingan dan terkena sinar matahar sehingga berubah
menjadi gundukan tanah memanjang berkelok-kelok yang subur dan banyak ditumbuhi
pohon Beno. Kayu Beno mencerminkan kematangan dan kedewasaan, sehingga mampu
menjaga dirinya, keluarganya dan orang-orang yang dipimpinnya agar tidak salah
arah dalam menjalani hidup bermasyarakat.
2.
Ruas-ruas payung dari
Bambu hijau (secara umum disebut bambu Apus, Jawa). Jenis bambu ini sangat
liat, mudah dibentuk, ringan, tahan terhadap air, dan sangat ringan. Jari-jari
payung berjumlah delapan yang mencerminkan simbol delapan arah mata angin,
dimana manusia harus memiliki wawasan yang luas dan mengerti maha besar ciptaan
Tuhan.
3.
Tali pengikat jari-jari
payung dari serat daun nanas. Daun nanas yang sudah cukup tua direndam dalam
air kurang lebih 10 sampai 15 jam, setelah itu diangkat dan dibersihkan hingga
tersisa serat-serat daunnya saja kemudian dikeringkan. Beberapa helai
serat Nanas kemudian dipilin hingga menjadi benang dan dapat digunakan
sebagai pengikat jari-jari payung. Serat daun Nanas dikenal sangat lentur, awet, dan mudah untuk difungsikan
sebagai pengikat. Serat daun nanas mencerminkan simbol manusia harus gigih berjuang, tidak
mudah menyerah, kuat dan memiliki pendirian yang teguh.
4.
Kain payung dari bahan
kapas. Tanaman kapas merupakan salah satu tanaman yang tumbuh subur dan banyak
dijumpai di Aceh Tenggara. Kapas
mencerminkan warna putih bersih dan sangat ringan, mencerminkan kejernihan
pikiran, hati dan diri manusia semata hanya untuk Tuhan YME.
5.
Rumbai payung dari bahan
alvaka bagi masyarakat biasa dan dari bahan perak untuk keluarga bangsawan.
Selain itu, rumbai-rumbai payung juga biasa dihias dengan rumbai-rumbai serat
nanas yang dikombinasikan dengan manik-manik tertentu. Alvaka atau perak tidak
berkarat dan warnanya cerah mencerminkan simbol kemurnian dan kesucian, bahwa
hati manusia harus suci dan murni.
6.
Bahan pewaran dan pengawet
tangkai payung menggunakan getah damar yang dicampur dengan pewarna alami, seperti kunyit (kekuningan), buah pinang (kemerahan), dan pewarna alami
lainnya.
Dalam
perkembangannya saat ini, bahan dasar Payung Mesikhat didatangkan dari Medan. Saat ini bahan dasar yang didatangkan sudah berupa
payung yang siap disulam. Pada umumnya berupa payung hasil buatan modern yang
rangkanya dibuat dari bahan besi ringan dan kain. Jenis payung yang saat ini
berkembang dan diterima khalayak secara luas adalah jenis “payung Cina”. Jenis
payung tersebut memiliki bentuk dasar yang serupa dengan payung khas Suku Alas sehingga mudah diterima oleh masyarakat Alas.
Penggunaan jenis “Payung Cina” telah mulai berkembang semenjak tahun 1970-an.
Bahan dasar payung tersebut sebagian besar didatangkan dari Medan. Disebut “Payung Cina” karena diperoleh dari para
pedagang-pedagang Cina yang banyak berkembang di kota Medan. Selain itu jenis
payung ini konon banyak dibuat oleh para pengrajin payung keturunan Tionghoa yang tinggal di Medan dan sebagian lagi di datangkan dari para pedagang
payung dari Surabaya.
4. Motif dan Warna
Payung Mesikhat pada awal mulanya hanya berwarna hitam polos
saja, kemudian dibuat menjadi berbagai motif sebagai penghiasnya. Motif-motif
yang digunakan pada awalnya mengacu pada motif ukir yang ada pada bangunan
rumah seperti motif pilin, motif lembayung, motif tumpal, motif Tombak Layar
Pemimpinen, Motif Tihang Raje, motif Tangge Kegelemen, Motif Buah Butun dan
lain sebagainya. Lambat laun motif pada Payung Mesikhat terus berkembang. Pada
tahun 1965 mulai menghadirkan motif flora- fauna secara bebas, motif tersebut
seperti: Angsa, Bebek, Ayam, Burung, Bunga-bunga dan lain sebagainya. Pada tahun
1973, motif pada Payung Mesikhat berkembang menjadi motif yang memiliki cerita
tertentu, seperti: Motif upacara pernikahan yang dibagi dalam delapan
pembabakan disesuaikan dengan delapan kolom dalam Payung Mesikhat. Motif
tersebut bermula dari upacara lamaran, persiapan pernikahan, berlangsungnya
upacara pernikahan dan seterusnya. Semenjak tahun 1973, Payung Mesikhat juga
sering kali dipesan khusus dari calon mempelai sehingga ceritanya menyesuaikan
pengalaman mempelai pengantinnya. Mulai tahun 1973 itu pulalah adanya motif
sepeda motor, pedati, mobil, dan lain sebagainya menyesuaikan pengalaman
pemesanya.
Warna dasar Payung Mesikhat selalu berwarna hitam.
Sedangkan motif penghiasnya beraneka ragam namun warna utama yang selalu hadir
adalah warna emas, warna hijau, dan warna merah. Ketiga warna tersebut
dikombinasikan sedemikian rupa sehingga motif hiasnya menjadi kontras dan
menonjol. Kombinasi ketiga warna tersebut dengan warna dasar hitam akan tampak
kontras dan indah. Selain warna Emas, Merah, dan Hijau, juga biasa
dikombinasikan dengan warna-warna lainnya. Warna dasar hitam dimaknai sebagai
simbol keagungan dan kekuatan perlindungan dari yang maha tinggi Allah SWT.
Hingga saat ini belum dijumpai warna dasar Payung Mesikhat selain warna hitam,
selain telah menjadi ketentuan baku juga dikarenakan telah menjadi identitas
budaya mereka.
5. Makna Simbolik Payung Mesikhat
Bagi masyarakat Suku Alas, Payung Mesikhat memiliki arti penting dalam tatanan
kehidupan kosmik budaya, antara lain:
1.
Payung Mesikhat
digunakan untuk menyambut tamu kehormatan dari tamu-tamu agung seperti para
bangsawan, pejabat tinggi dan lain sebagainya. Keberadaan Payung Mesikhat dalam
acara ini mencerminkan simbol penghormatan dan memuliakan terhadap tamu yang
hadir.
2.
Payung Mesikhat
dalam acara perkawinan digunakan untuk memayungi pengantin. Payung Mesikhat
dalam hal ini mencerminkan simbol perlindungan, kesucian dan kenyamanan dalam
membangun hubungan perkawinan, sehingga antar keluarga yang disatukan selalu
dilindungi Tuhan YME dan dijauhkan dari segala bala.
3.
Dalam Upacara
Khitanan Payung Mesikhat digunakan untuk memayungi yang dikhitan yang
mencerminkan simbol telah dewasa dan siap menjadi pelindung dan bertanggung
jawab.
4.
Dalam
Upacara-upacara Sunah Rasul, payung mencerminkan simbol perlindungan dan
keselamatan dari Tuhan YME.
5.
Setelah acara
pernikahan biasanya Payung Mesikhat selalu disimpan oleh sepasang pengantin,
dan kelak bila punya anak gadis yang akan menikah maka payung tersebut
digunakan untuk memayungi mempelai sebagai simbol keharmonisan, kesuburan dan
keabadian cinta kasih dalam keluarga, dan masih banyak lagi makna mendalam bagi
masyarat Suku Alas.
Fungsi Payung Mesikhat yang awal
mulanya sebagai pelindung panas hujan kemudian hadir sebagai kelengkapan
upacara adat yang dianggap penting. Hampir dalam setiap upacara adat Suku Alas Payung Mesikat senantiasa dihadirkan, bahkan
seolah-olah dianggap tabu bila sampai tidak ada. Adapun fungsi Payung Mesikhat
antara lain:
1.
Digunakan untuk memayungi
mempelai pengantin dalam upacara adat perkawinan Suku Alas.
2.
Dihadirkan dalam
upacara Peusijuk yang mencerminkan simbol pengagungan dan perlindungan.
3.
Dihadirkan dalam
upacara Pasenat (Sunat Rasul).
4.
Penyambutan
tamu-tamu yang memiliki strata sosial tinggi seperti bangsawan, pejabat, dan
lain sebagainya.
5.
Identitas etnik.
Masyarakat Suku Alas mennjadikan
Payung Mesikat sebagai identitas adat budaya mereka, sehingga keberadaan mereka
akan mudah dikenali dengan adanya Payung Mesikhat. Dalam acara-acara festival
mereka senantiasa dilengkapi dengan Payung Meshikhat sebagai identitas budaya
mereka.
6.
Keberadaan Payung
Mesikhat
Payung
Mesikhat dalam aspek fungsi, saat ini keberadaan Payung Mesikhat semakin
mendalam hadir dalam setiap kegiatan upacara adat dan keberadaannya dianggap
penting. Bahkan kini dianggap tabu bila suatu upacara adat Suku Alas tidak
dilengkapi dengan Payung Mesikhat. Hampir dalam setiap sendi aktifitas budaya
masyarakat Suku Alas kini menggunakan Payung Mesikhat. Dalam konteks teknologi
penciptaanya, kini Payung Mesikat telah dibuat dengan melibatkan teknologi
modern. Bahkan dapat dikatakan bahwa sudah tidak ada lagi seniman Payung
Mesikat yang dalam proses pembuatannya dilakukan secara manual. Selain
membutuhkan proses yang lama, Payung Mesikhat yang dibuat secara tradisional
memiliki nilai jual yang cukup tinggi sehingga hanya kalangan tertentu yang
mampu membelinya. Tingginya kebutuhan masyarakat atas Payung Mesikhat sehingga
teknologi mesin (bordir komputer) mampu menjawab kebutuhan tersebut. Kuatnya
teknologi modern tampaknya membuat mereka terlena sehingga para
seniman/pengrajin tenun mesikat secara tradisional kini hampir punah. Dalam
aspek bahan baku mereka telah membeli barang setengah jadi. Bahan-bahan payung
tersebut dalam jumlah besar didatangkan dari Medan, Surabaya dan kota-kota
lainnya. Tampaknya kesadaran dalam menankap potensi ekonomi kreatif justru
terabaikan dan peluang tersebut dimanfaatkan masyarakat lain diluar Suku Alas.
0 Komentar